06.35

Penelitian Peluruhan Radikal Bebas dengan Konsep Biologi Nano, Tanpa Bantuan Pemerintah

Lembaga penelitian yang didirikan akhir 2007 ini adalah lembaga mandiri. Tim peneliti inti ada enam orang dengan latar belakang dosen, dokter, guru besar biologi, dan pakar kimia nuklir. Soal kesehatan, mereka punya konsep cukup sederhana. Kalau Ingin sehat, kendalikan merkuri dan radikal bebas yang ada di tubuh dan di lingkungan.

Prof Sutiman, dr Saraswati, dan Ir Tintrim duduk mengelilingi sebuah meja di dalam sebuah rumah, Jalan Surakarta 5 Kota Malang. Di atas meja persegi panjang itu, tedapat dua tatakan berisi tembakau giling. Di sudut meja lainnya ada beberapa lembar kulit jagung kering. Lalu ada pula cawan petri berisi kristal putih berbentuk jarum.

Sigaret dengan bungkus kulit jagung biasa disebut klobot. Namun, mereka memilih menyebutnya sebagai divine cigarette. “Kristal putih ini adalah scavenger. Arti sederhana dari scavenger adalah penangkap dan peluruh radikal bebas. Scavenger kami bentuk dari pemikiran dan penelitian berbasis Biologi Nano,” kata dr Saraswati, seraya tangannya menjamah cawan petri di depannya.

“Kalau scavenger dipasang di rokok, maka radikal bebas dari asap rokok yang akan diluruhkan. Kristal ini dimasukkan ke dalam klobot sebelum dilinting,” sambung dokter yang sering mengisi acara konsultasi di beberapa radio swasta ini.

Rokok adalah salah satu objek penelitian dari lembaga penelitian mandiri ini. Sebab, mereka punya pendapat bahwa yang paling membahayakan dari asap rokok adalah radikal bebas yang terlepas ke udara atau radikal bebas yang terhisap ke dalam tubuh.

Salah satu radikal bebas yang paling “diburu” oleh lembaga penelitian ini adalah yang bereaksi dengan Hg (raksa). Termasuk Hg itu sendiri. “Hg juga dihasilkan dari pembakaran tembakau. Karena itu, kami teliti rokok,” kata dr Saras, sapaan Saraswati.

Dari beberapa partisipan yang mencoba hasil penelitian rokok itu, ada hasil positif. Data empiris itu tercatat dan sudah diseminarkan dalam berbagai forum nasional maupun internasional. Kesimpulannya, tidak semua perokok menderita penyakit paru-paru. Tetapi penderita paru-paru sebagian besar perokok.

Selain rokok, yang juga menjadi objek penelitian LPPRB adalah pengobatan. Mereka menggunakan metode balur. Metode balur ini dilakukan dengan melumuri tubuh dengan campuran bahan tertentu yang bersifat scavenger.

Diharapkan larutan scavenger itu menarik radikal bebas dan merkuri yang ada di tubuh seseorang. Cara itu banyak diaplikasikan bagi penyakit degenerative (kanker dan penyakit dalam lainnya). Termasuk juga untuk anak berkebutuhan khusus. “Kami juga sedang penelitian soal pupuk untuk tanaman. Pupuk yang kadar Hg-nya terkendali. Ada penelitian senyawa yang bisa memperbanyak cat. Banyak deh,” kata Saras.

Mengapa radikal bebas menjadi objek utama yang diteliti? Prof Sutiman menerangkan, perubahan iklim global membuat kualitas hidup manusia memburuk. Hal itu sebagai akibat dari pencemaran udara, lapisan ozon menjadi lebih tipis. Sehingga terjadi peningkatan intensitas cahaya matahari dengan gelombang frekuensi tinggi.

Seiring itu, beberapa logam berat yang bersifat relativistik (antara lain merkuri), cenderung berperilaku sebagai partikel reaktif. Utamanya dalam fase gas. Partikel-partikel itu bereaksi dengan radikal bebas alias ion-ion positif atau negatif yang ada di udara. “Kondisi ini memengaruhi sistem tubuh makhluk hidup. Kami berpendapat radikal bebas inilah penyebab penyakit. Sebab, dia menjadi faktor ketidakseimbangan sistem dalam tubuh,” kata guru besar Biologi MIPA Universitas Brawijaya ini.

Untuk meneliti dan mencari cara mengendalikan radikal bebas, lanjut Sutiman, diperlukan pendekatan keilmuan Biologi Nano. Kelimuan yang mempelajari sistem kehidupan di tingkat partikel dan subatomik. Konsep biologi sel dan biologi molekuler saja dianggap kurang mampu menghasilkan bahasan yang komprehensif dan tuntas.

“Coba ikuti urutan berpikir ini. Tubuh manusia, daging, jaringan, sel, atom, penyusun atom. Saat kita bicara penyusun atom itulah, kita berbicara Biologi Nano. Sebab, setiap komponen partikulasi skala 1-100 nanometer,” ungkap Sutiman.

Setiap partikulasi penyusun sistem kehidupan ini, lanjut Sutiman, selalu memiliki ide tentang apa, di mana, kapan, dan dengan siapa dia bekerja. Dari sini dapat dipahami bahwa material hidup selalu bersifat self perpetuate (menjaga tetap hidup), self generated (turun temurun), self repairing (memperbaiki diri sendiri) dan memiliki aliran energi kontinyu untuk terus berkembang dan berubah. “Dari cara berpikir nano inilah, maka penyebab penyakit adalah radikal bebas. Untuk mengatasinya, juga harus berpikir nano,” kata Sutiman.

Unsur Hg alias merkuri, lanjut Sutiman, saat ini sudah menyebar ke berbagi bidang kehidupan. Mulai dari pertambangan, industri, makanan, obat-obatan, bahkan kosmetika. Merkuri juga digunakan untuk pengawetan vaksin dan tambalan gigi (amalgam).

Sesuai teori, merkuri adalah logam berat “cerdik”. Mempunyai 13 macam panjang gelombang yang bisa digunakan untuk mengacaukan dan menyesatkan codon dalam pembentukan protein (codon adalah kode genetik yang menentukan sintesa protein, Red.)

Merkuri dalam tubuh akan menarik lebih banyak merkuri. Dan merkuri punya energi dinamika yang cukup besar untuk membantunya melakukan transisi elektron. Transisi elektron itu merupakan cara merkuri menyamar menjadi partikel lain.

Merkuri hanya perlu tambahan satu elektron untuk menjadi logam berat seperti thalium. Atau dua tambahan elektron untuk menjadi timbal (Pb). Merkuri juga sebuah energi kehidupan ketika dalam jumlah terbatas. Tubuh pun membutuhkannya. Seseorang dengan berat 70 kilogram diperkirakan membutuhkan merkuri 6 miligram. Sedangkan bayi berat 10 kilogram memerlukan 0,857 miligram.

Dengan dasar pemikiran yang panjang lebar itu, kata Sutiman, tim peneliti inti terus mengembangkan teknologi Biologi Nano untuk kesehatan dan kedokteran. Saat ini tim inti di LPPRB ada enam orang. Yakni, dr Saraswati, Prof Sutiman Bambang Sumitro, dr Subagjo SpB (ketua IDI Malang), Ir Tintrim Rahayu Msi, Prof Sri Kumalaningsih (guru besar teknologi pertanian Universitas Brawijaya), dan Dr Gretha Pramutadi Zahar (pakar ilmu kimia nuklir). “Kami mempunyai pemikiran yang berbeda dengan pemikiran dunia kedokteran barat. Menurut kami, yang penting semua pemikiran itu ada dasar ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah,” katanya.

Sebagai sebuah lembaga penelitian mandiri, kata Sutiman, pendanaan berasal dari kantong pribadi. Mereka juga mengandalkan donasi dari partisipan yang mendapatkan manfaat dari hasil penelitian mereka. Selain dari Indonesia, partisipan ada yang berasal dari Australia, Arab, Amerika, Jerman dan Swedia. “Tidak ada bantuan pemerintah. Murni swasta dan donasi partisipan. Yang dari Amerika itu pakar kanker di sebuah klinik bermaksud mengadopsi hasil penelitian kami,” kata Sutiman.

Beberapa anggota tim peneliti sudah merasakan dampak positif dari metode balur yang mereka kembangkan. Bahwa pengendalian radikal bebas dan mengeluarkan gelembung merkuri yang bersifat toksik membuat mereka jadi lebih sehat. Termasuk memperkecil dan mengendalikan kanker yang diidap beberapa dari mereka. “Kami berdiri akhir 2007. Banyak yang akan kami kembangkan dari konsep ilmu nano teknologi. Kami akan terus berkiprah meski konsepnya berbeda dengan ilmu kedokteran Eropa,” sambung Saras.

Sumber :

Yosi Arbianto, MALANG
(*/ziz/radarmalang)

http://malangraya.web.id/2009/06/11/penelitian-peluruhan-radikal-bebas-dengan-konsep-biologi-nano-tanpa-bantuan-pemerintah/

1 September 2009

0 komentar: